Jatah Preman Memperpanjang Riwayat Korupsi Gubri, Berimbas Buruknya Tata Kelola Perizinan SDA

Kamis, 06 November 2025 | 20:57:09 WIB

PEKANBARU – Riau semakin mengukuhkan posisinya sebagai provinsi dengan riwayat korupsi tertinggi di Indonesia. Pencapaian buruk ini terjadi setelah Gubernur Riau, Abdul Wahid terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 3 November 2025.

Abdul Wahid ditetapkan sebagai tersangka terkait “jatah preman” anggaran Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR-PKPP) Provinsi Riau. Hal ini menjadi pengingat betapa rawannya pemimpin Riau dalam mempermainkan hukum dan regulasi, termasuk dalam sektor sumber daya alam hingga berdampak buruk bagi perlindungan ekologis dan HAM.

Emy, Direktur Riau Women Working Group (RWWG), menilai korupsi yang dilakukan Abdul Wahid memusnahkan harapan rakyat Riau yang sejak awal menaruh harapan tinggi untuk perbaikan Riau. Apalagi Riau saat ini sedang mengalami defisit anggaran 3,5 triliun rupiah. Tahun 2025 Riau masih kekurangan anggaran sebesar 1,3 triliun, sedangkan tunda bayar 2024 sebesar 2,2 triliun rupiah.

Jika benar keterangan KPK bahwa jatah preman telah diniatkan oleh  Abdul Wahid sejak awal masa jabatannya sebagai Gubernur Riau, maka menurut Emi sekali lagi rakyat Riau dikecewakan oleh pemimpin yang diharapkan bersih dalam ucapan dan tindakan.

“Abdul Wahid merupakan representasi praktik buruk hasil politik elektoral di Riau. Anggaran negara yang seharusnya digunakan untuk memberikan pelayanan publik kepada rakyat justru dikorupsi," kata Emi, 6 Oktober 2025.

Hal ini tak lepas dari perilaku partai politik oligarki yang kerap menggunakan politik uang untuk mendapatkan kursi kekuasaan, hingga akhirnya menempatkan rakyat sebagai korban. Bagaimana Riau bisa membenahi persoalan sosial ekonomi rakyatnya jika pemimpinnya terus saja melanggengkan praktik korupsi?," sambungnya.

RIWAYAT KORUPSI GUBERNUR RIAU

Sebelum Abdul Wahid, tiga Gubernur Riau sebelumnya juga pernah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi yaitu Saleh Djasit, Rusli Zainal, dan Annas Maamun. Dua dari empat kasus Gubernur Riau tersebut merupakan korupsi sektor sumber daya alam (SDA).

Hal ini semakin menguatkan bahwa SDA menjadi sektor rawan tindak pidana korupsi di Provinsi Riau. Korupsi sektor SDA juga menggambarkan dampak buruk korupsi tidak saja menyebabkan kerugian negara, namun juga menyebabkan kerugian lingkungan hidup dan mengancam keberlangsungan hidup masyarakat Riau.

Eko Yunanda, Direktur WALHI Riau menyebut korupsi yang terjadi di Riau, khususnya perihal perizinan SDA tidak lepas dari menguatnya ijon politik antara pengusaha dengan para kandidat Pilkada. Hal ini merujuk pada banyaknya kasus korupsi sektor SDA yang melibatkan Gubernur, Bupati, hingga korporasi.

Kasus Grup Duta Palma yang melibatkan Gubernur Riau kala itu—Annas Makmun dan Bupati Indragiri Hulu periode 1999-2008—Raja Thamsir Rachman merupakan bukti nyata bagaimana keterlibatan kepala daerah dalam kasus korupsi sektor SDA di Riau.

Kemudian kasus korupsi kehutanan yang melibatkan Rusli Zainal—Gubernur Riau periode 2003-2013 (dua periode), Bupati Pelalawan periode 2001-2006—Azmun Jaafar dan Bupati Siak periode 2001-2011 (dua periode)—Arwin AS. Ketiganya terlibat dalam kasus perizinan kehutanan 9 perusahaan di Kabupaten Siak dan Pelalawan.

“OTT terhadap Abdul Wahid mengingatkan kita bagaimana rawannya kepala daerah di Riau terjerat kasus korupsi. Empat kali Gubernur Riau terlibat kasus korupsi dan dua di antaranya merupakan korupsi SDA. Tidak menutup kemungkinan potensi yang sama terjadi saat penerbitan ratusan izin baik perusahaan perkebunan kayu, kelapa sawit, tambang dan perizinan lainnya, sebab aktivitas korporasi sering kali menimbulkan konflik dengan masyarakat. Hal ini jelas merugikan negara, mengancam kelestarian lingkungan hidup, dan merampas ruang hidup masyarakat adat dan tempatan di Riau,” ujar Eko.

BERKACA DARI KORUPSI SEKTOR KEHUTANAN

Jasmi, Dewan Daerah WALHI Riau mengatakan bahwa banyaknya perizinan korporasi berskala besar yang terbit di Riau patut diwaspadai mengandung unsur korupsi, terutama yang memicu konflik dengan masyarakat.

Terlebih pasca disahkannya UU Cipta Kerja, pemerintah memberikan legalitas kepada para pelaku usaha—korporasi sawit yang melakukan pelanggaran dalam kawasan hutan. Tidak menutup kemungkinan tindakan korupsi yang dilakukan Gubernur sebelumnya dan menjerat Surya Darmadi juga terjadi dalam penerbitan izin perusahaan lainnya, terutama pasca UUCK.

“Kasus Surya Darmadi dapat menjadi contoh melakukan pemeriksaan dugaan penyalahgunaan kekuasaan dalam penerbitan izin pada perusahaan lain. Jika terdapat suap dalam kasus penggunaan kawasan hutan secara ilegal oleh Duta Palma, maka bukan tidak mungkin perusahaan lain juga melakukan hal serupa. KPK harus lebih jeli memperhatikan kejanggalan yang banyak terjadi dalam tata kelola perizinan konsesi atau perkebunan sawit di Riau,” kata Jasmi.

Selain menekankan pentingnya pengawasan dalam proses perizinan SDA, Jasmi juga mengingatkan pemerintah untuk memenuhi kewajibannya dalam memulihkan lingkungan hidup dan wilayah kelola masyarakat yang dirugikan akibat korupsi tersebut.

Dampak dari kasus korupsi yang melibatkan gubernur dalam perizinan Duta Palma telah merugikan komunitas adat Talang Mamak yang harus kehilangan tanah adatnya. Kerugian yang juga tak kalah besarnya adalah kerusakan lingkungan akibat hilangnya hutan dan degradasi gambut.

“Sejauh ini, kami tidak melihat upaya serius pemerintah dalam mengembalikan fungsi ekologis dan hak rakyat yang dirampas perusahaan Duta Palma. Ini sangat disayangkan, mengingat merekalah korban utama dalam kasus tersebut. Kami berharap tidak ada lagi rakyat yang menjadi korban dari keserakahan pemimpin di Riau,” tutup Jasmi.

Terkini