Pandangan Praktisi Hukum Tentang Penonaktifan Sahroni-Nafa-Eko-Uya Sebagai Anggota DPR RI

Pandangan Praktisi Hukum Tentang Penonaktifan Sahroni-Nafa-Eko-Uya Sebagai Anggota DPR RI
Muhsin, S.H.,M.H

OPINI - Bagaimana pandangan hukum tentang penonaktifan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach. Mereka merupakan kader Partai NasDem dinonaktifkan karena dianggap "mencederai" perasaan rakyat.

Menanggapi penonaktifan Sahroni, Nafa, dan menyusul Eko serta Uya yang sedang viral saat ini, seorang Praktisi Hukum Muhsin, S.H.,M.H yang sering disapa dengan nama khasnya Uchein memberikan pandangan hukum dengan menilik dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Menurutnya, Anggota DPR memiliki legitimasi langsung dari rakyat melalui pemilihan umum. Oleh karena itu, segala bentuk pemberhentian atau penonaktifan anggota DPR harus memiliki dasar hukum yang jelas, tegas, serta tidak bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan demokrasi.

Secara terminologis, penonaktifan anggota DPR tidak dikenal secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maupun dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).

"Instrumen hukum yang tersedia hanyalah mekanisme pemberhentian sementara atau pemberhentian tetap," kata Muhsin, S.H.,M.H yang juga berprofesi sebagai Dosen Hukum Tata Negara, Rabu (3/9/2025).

Diuraikannya, Anggota DPR dapat diberhentikan sementara apabila yang bersangkutan sedang tersangkut perkara pidana tertentu, ditetapkan sebagai terdakwa dalam kasus yang ancaman pidananya di atas 5 tahun, atau terjerat masalah etik yang serius.

"Mekanisme ini dimaksudkan agar anggota DPR yang menghadapi persoalan hukum tidak menggunakan jabatannya untuk menghambat proses peradilan," terangnya.

Selanjutnya pemberhentian Tetap. Pemberhentian tetap dilakukan jika anggota DPR terbukti melakukan tindak pidana tertentu berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, mengundurkan diri, meninggal dunia, atau diberhentikan oleh partai politik pengusung sesuai mekanisme recall.

Dari perspektif hukum tata negara, penggunaan istilah “penonaktifan” yang sering dipakai dalam wacana politik sebenarnya merupakan bentuk interpretasi terhadap konsep pemberhentian sementara. Namun, secara akademis, istilah ini kurang tepat karena menimbulkan kesan adanya mekanisme hukum baru yang berdiri sendiri, padahal dalam peraturan perundang-undangan hanya dikenal mekanisme pemberhentian sementara maupun tetap.

Dari sudut pandangan hukum, penonaktifan anggota DPR harus dilihat dalam bingkai:
•    Asas kepastian hukum, bahwa segala tindakan lembaga negara harus memiliki dasar hukum yang jelas dan tidak multitafsir.
•    Asas kedaulatan rakyat, karena anggota DPR merupakan representasi rakyat sehingga proses pemberhentian atau penonaktifannya tidak boleh bertentangan dengan prinsip demokrasi.
•    Asas checks and balances, di mana penonaktifan anggota DPR tidak boleh dijadikan instrumen politik untuk melemahkan fungsi legislasi, pengawasan, maupun anggaran.

Dengan demikian, istilah “penonaktifan” sebaiknya dipahami sebagai pemberhentian sementara yang diatur dalam UU MD3. Penggunaan istilah yang tidak baku berpotensi menimbulkan kerancuan yuridis dan berimplikasi pada ketidakpastian hukum.

"Oleh sebab itu, secara akademis dan normatif, mekanisme pemberhentian atau penonaktifan anggota DPR seharusnya merujuk langsung pada regulasi yang ada agar tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum (rechsstaat) dan demokrasi konstitusional." Tutupnya.

Untuk diketahui, penonaktifan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach atas kebijakan Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (NasDem), Surya Paloh, terkait dinamika Masyarakat, buntut dari Ahmad Sahroni mengungkapkan kata yang kontroversial yang diduga menyakiti hati masyarakat.

(Penulis: Muhsin, S.H.,M.H, merupakan Seorang Praktisi Hukum, Dosen Hukum Tata Negara)

Berita Lainnya

Index