PEKANBARU - Komunitas adat Talang Mamak di Kabupaten Indragiri Hulu tercatat sebagai satu-satunya masyarakat adat di Riau yang belum mendapatkan pengakuan formal dari pemerintah.
Kelompok adat ini sangat rentan menjadi korban konflik agraria yang timbul akibat ekspansi perkebunan di wilayah mereka. Isu ini mencuat dalam diskusi kelompok terfokus (FGD) yang digelar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Riau.
Menurut Junaidi Syam, S.Sn MA, pengakuan formal terhadap masyarakat Talang Mamak merupakan kebutuhan mendesak, Kamis (24/7/2025) lalu.
"Tanpa pengakuan formal pemerintah, nasib mereka tidak akan pernah berubah," ujarnya.
Ia menyebut, tanpa legitimasi negara, Talang Mamak akan terus menjadi kelompok paling terdampak dalam konflik lahan.
Harry dari Yayasan Bahtera Alam menambahkan bahwa saat ini Provinsi Riau telah mengeluarkan 17 Surat Keputusan (SK) pengakuan masyarakat adat. Namun, Talang Mamak belum termasuk dalam daftar tersebut.
Minimnya regulasi serta kurangnya dukungan kebijakan dari pemerintah daerah menjadi hambatan utama.
Diskusi ini turut dihadiri oleh tokoh akademik, LSM, serta perwakilan masyarakat adat dari Talang Perigi, Talang Sungai Parit, dan Talang Durian Cacar. Dekan FISIP Unri, Dr Meyzi Heriyanto, saat membuka diskusi menegaskan pentingnya menggali sejarah Talang Mamak sebagai landasan untuk pengakuan identitas hukum adat.
Ini bukan hanya soal sejarah, tetapi soal keadilan ekologis dan sosial," tegasnya.
Dr Elmustian Rahman MA (FKIP Unri) mendorong pembentukan panitia percepatan pengakuan masyarakat adat, sekaligus pengembangan kurikulum muatan lokal berbasis budaya Talang Mamak.
Sementara Prof Dr Yusmar Yusuf MPsi menekankan pentingnya pendidikan dasar yang inklusif dan berbasis budaya lokal.
Indra Syafri S.Sos M.Si dari UIR menilai pemetaan partisipatif wilayah adat sebagai langkah strategis untuk memperkuat dasar hukum pengakuan.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Prof Dr Firdaus SH MH, yang melihat adanya ketimpangan kekuasaan antara hukum adat dan hukum negara.
"Pengakuan adat seharusnya tidak dilihat sebagai hambatan ekonomi, melainkan bagian dari keadilan ekologis," ujarnya.
Ketua Pokja PPS Provinsi Riau, Joni Setiawan Mundung, menyebut stagnasi Perda Kampung Adat sebagai hambatan besar, karena belum mendapat pengakuan dari Kemendagri. Hal ini memperkuat urgensi revisi kebijakan dan perlunya sinergi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat adat.
Rusdi Bromi SH MH menegaskan bahwa secara substansi, Talang Mamak telah memenuhi seluruh kriteria sebagai masyarakat hukum adat.
Bahkan perjuangan mereka sudah berlangsung sejak 2010, namun belum kunjung direspon secara resmi oleh negara.
FGD ini menjadi momentum bagi FISIP Unri untuk menegaskan perannya sebagai jembatan antara kepentingan masyarakat adat dan kebijakan publik.
Ridar Hendri PhD menutup diskusi dengan penekanan bahwa pengumpulan data, pemetaan wilayah, dan partisipasi generasi muda adat harus segera dilakukan untuk memperkuat narasi perjuangan Talang Mamak menuju pengakuan legal yang berkeadilan.